Jurnalisme ‘Cantik’: Pemberitaan Media tentang Istri-Istri Menteri yang Cantik
By
konde
perspektif
Perempuan ternyata tak pernah terhindar dari mitos ‘cantik’. Bahkan dalam acara pelantikan menteri Kabinet Presiden Jokowi- Ma'ruf 23 Oktober 2019, media seolah berlomba menuliskan tentang perempuan cantik, seperti tulisan dengan judul: istri-istri menteri yang cantik.
*Meera Malik- www.Konde.co
Aktivis perempuan, Andy Yentriyani tampak gusar melihat banyaknya berita tentang: istri menteri cantik yang ditulis oleh media-media.
Kegusaran itu ia tulis di laman facebook-nya beberapa saat setelah Presiden Jokowi melantik para menterinya.
Ternyata memang tak hanya berita tentang pelantikan menteri, tetapi media, khususnya media daring, berlomba-lomba merebut perhatian pembaca. Secara real time, isu pemilihan kabinet dikulik dari berbagai sisi, termasuk menuliskan tentang istri menteri yang cantik, istri menteri yang menjadi artis, istri menteri yang dulu pernah menjadi model dan presenter atau tentang wakil menteri yang cantik. Misalnya beberapa tulisan berikut:
Pesona 8 Istri Menteri Kabinet Indonesia Maju Jokowi-Ma’ruf (brilio.net) 23 Okt 2019
4 Istri Cantik Para Menteri Kabinet Indonesia Maju (merdeka.com) 24 Oktober 2019
Kenalkan 4 Istri Menteri Kabinet Indonesia Maju Yang Cantik Memesona (Liputan6.com) 25 Oktober 2019
Mengenal Istri-Istri Menteri di Kabinet Jokowi yang Cantik-Cantik dan Berprestasi (Tribunnews.com) 25 Okt 2019
Kelakar Wishnutama karena Dapat Wamen Cantik (detik.com) 25 Okt 2019
Di atas adalah judul-judul berita media daring di Indonesia yang juga turut berseliweran di linimasa media sosial. Isinya bercerita tentang istri-istri menteri terpilih, yang (menurut media) cantik, dan sepertinya sengaja memberikan label kecantikan tersebut untuk menjadi perhatian pembaca.
Kata “cantik” menjadi primadona dan tentu saja dilekatkan pada perempuan. Banyak pihak kemudian menyebutnya sebagai ‘jurnalisme cantik.’
Jenis yang sebetulnya bukanlah barang baru di industri media di Indonesia. Jujur saja, penyebutan identitas cantik kepada perempuan rasa-rasanya hampir tidak pernah sepi jadi judul berita, seperti sejumlah berita yang juga ditampilkan sekitar setahun yang lalu:
10 Penjual Cantik ini pernah viral, bikin cowok-cowok rela antre. (brilio.net) 02/05/2018
Berparas Cantik, Pedagang Nasi Uduk Ini Bikin Warganet Kepincut (Liputan6.com) 29/11/2018
Heboh Penjual Ikan Cantik di Pasar, Terungkap Ini Sosok Aslinya (Suara.com) 08/12/2018
Viral Penjual Bakmi Cantik di Pluit yang Bikin Gagal Fokus (lifestyle.okezone.com) 23/03/2019
Pahitnya, lewat berita-berita tersebut, media seolah memberikan penilaian bahwa cantik adalah satu-satunya pencapaian yang “cukup” digapai perempuan.
Bagaimana tidak? Dari seluruh berita di atas, isinya hanya puja-puji terhadap kecantikan narasumber perempuan dan bagaimana mereka menjadi idaman laki-laki. Padahal, ada hal-hal substantif lain yang bisa dituliskan dari seorang perempuan. Yaitu sebagai manusia, yang seharusnya layak untuk dijadikan sebuah berita. Entah itu perjuangan hidupnya atau prestasinya yang bisa menginspirasi pembaca.
Berita-berita tersebut akhirnya mengafirmasi pandangan masyarakat: perempuan cukup menjadi “cantik” untuk menjadi sebuah berita.
Jangan heran jika kakak perempuan, adik perempuan, saudara perempuan, teman perempuan atau bahkan kita para perempuan, secara tidak sadar berupaya memenuhi standar kecantikan media massa.
Meike Lusye Karolus pernah mengungkapkan hal ini dalam sebuah esai berjudul Mitos dan Komersialisasi Kecantikan: Kajian Pemikiran Naomi Wolf. Ia menyatakan bahwa citra ‘ideal’ yang terus berulang-ulang terpampang di media adalah salah satu keadaan di mana perempuan belajar membenci tubuhnya.
Orang-orang yang tidak sesuai dengan citra ideal ‘cantik’ dan ‘memesona’ di media, akan terdampar seperti alien yang terkikis rasa percaya dirinya. Ia mengutip Naomi Wolf yang dalam bukunya The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women (1991) menyebutkan bahwa mitos kecantikan lahir dari idealisasi yang melayani tujuan atau kepentingan tertentu.
Perempuan diserang secara fisik dan psikologis terhadap peran-peran mereka dengan cara menempatkan mereka dalam perasaan tidak pantas dan tidak nyaman.
Hegemoni kecantikan yang setiap waktu dan repetitif di media akan membuat perempuan kehilangan kewenangan untuk memutuskan konsep “kecantikan” diri secara swadaya.
Ingat, media massa bukanlah ruang hampa. Dalam prosesnya, terjadi pertukaran pesan dan gagasan antara pemberi dan penerima. Media massa tidak bersifat bebas nilai. Namun kepentingan, utamanya politik dan ekonomi, membuatnya jadi medium berbahaya untuk memengaruhi pembaca.
Celakanya, tidak ada yang paling dirugikan dari naiknya berita berjenis “jurnalisme cantik” ini selain pembaca (publik) yang “dipaksa” mengonsumsinya.
Jangan lupa, salah satu fungsi media massa sebenarnya adalah memberikan edukasi. Jika melihat berita-berita seperti di atas, wajar jika kita bertanya, lantas di mana sisi edukasinya?
Entah kapan racun “jurnalisme cantik” ini akan mendapat antidotnya. Kita tidak boleh hanya menunggu saja. Perempuan harus berdaya.
Mau sampai kapan konsep ‘kecantikan’ diri kita dikonstruksi dan dibesarkan terus oleh media hingga menjadi mitos-mitos yang dipercaya publik? Saatnya kita mengakhirinya.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Meera Malik, pengagum paradoks semesta yang gemar membeli buku tapi lupa membaca.
SEARCH
LATEST
3-latest-65px
SECCIONS
- Agenda HAM (1)
- Agenda Perempuan (6)
- catatan peristiwa (15)
- film (10)
- perempuan inspiratif (5)
- peristiwa (41)
- perspektif (58)
- Resensi Film (3)
Powered by Blogger.
Site Map
Kasus Aice: Dilema Buruh Perempuan Dan Pentingnya Kesetaraan Gender di Tempat Kerja
Para pekerja perempuan sedang bekerja di pabrik wig, Yogyakarta, 13 Desember 2019. RWicaksono/Shutterstock Aisha Amelia Yasmin , The Convers...
Popular Posts
-
Christophe Petit Tesson/EPA Sarah L. Cook , Georgia State University ; Lilia M. Cortina , University of Michigan , dan Mary P. Koss , Univer...
-
Co-working space telah menjadi sebuah cara yang innovative untuk bekerja diluar kantor pusat tanpa menjadi bekerja sendiri di rumah. (Shutte...
-
Apa yang salah dengan janda? Selama ini banyak pandangan miring tentang janda, seolah-olah yang dilakukan dan diputuskan oleh janda selalu s...
-
Sebuah gerakan global yang bernama “One Billion Rising” diadakan setiap tanggal 14 Februari, tepat di hari Valentine. Apakah One Billion Ris...
-
*Lala Firda- www.Konde.co Konde.co- Menjadi feminis di usia 17 adalah sesuatu yang langka yang saya jumpai di masa lalu. Tapi saya sudah mel...
-
Poedjiati Tan- www.Konde.co Jakarta, Konde.co- Setelah sebelumnya panitya seleksi pemilihan anggota Komnas Perempuan menyerahkan 20 calon an...
-
*Poedjiati Tan- www.Konde.co Jakarta, Konde.co- Jurnalis adalah pekerja yang banyak berada di tengah kerumunan. Mereka berada di kerumunan m...
-
Konde.co- Menjelang siang hari tanggal 17 Februari 2020, salah satu pengurus Serikat Buruh, Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indone...
-
Atalia (bukan nama sebenarnya), 28 tahun stress bukan kepalang. Wabah Corona atau Covid-19 ini membuatnya cemas. Ia cemas dengan keadaan pac...
-
Single and very happy? fizkes/ShutterStock Karel Karsten Himawan , Universitas Pelita Harapan Tren pertumbuhan orang lajang di negara Barat ...
Total Pageviews
Home Top Ad
space iklan
Cari Blog Ini
Blog Archive
-
▼
2019
(61)
-
▼
October
(7)
- Kain Tenun dan Batik, Daya Magis Ekonomi Perempuan...
- Surat dari Penjara untuk Ibu: Bagian doa yang Sela...
- Jurnalisme ‘Cantik’: Pemberitaan Media tentang Ist...
- Gender dan Keberagaman Masuk dalam Indikator Indek...
- Pentingnya 'Me Time' Bagi Perempuan
- Madani Film Festival, Festival Film untuk Mendisku...
- Kabinet Jokowi Tak Memprioritaskan HAM dan Minim...
-
▼
October
(7)
Video Of Day
Flickr Images
Find Us On Facebook
VIDEO
ads
TENTANG KAMI
Labels
Tags 1
Labels Cloud
RECENT POST
3/recent/post-list
Recent Posts
4/recent/post-list
Konde's Talk
Pages
TENTANG KAMI
Pages
Tentang kami
Subscribe Us
In frame
recent/hot-posts
No comments:
Post a Comment