Menolak Standar Kecantikan Perempuan dalam Karya Seni
Sebelumnya, saya belum pernah datang ke pameran seni yang menampilkan rupa-rupa tubuh perempuan. Ada payudara dan vagina perempuan. Dan yang paling pedih adalah ketika saya melihat baju penyintas korban kekerasan di tempel di ruangan seni. Baju-baju itulah yang dikenakan korban ketika ia mengalami pelecehan. Pameran seni ini seperti mengantarkan saya pada cerita tentang standar kecantikan dan pelecehan perempuan yang tak ada habisnya hingga kini.
*Aprelia Amanda- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Saya menyebut ini sebagai ruang berekspresi bagi perempuan. Ada instalasi rupa ragam payudara dan vagina, lukisan perempuan dalam keseharian, dan replika pakaian penyintas kekerasan.
Pameran instalasi ragam payudara dan vagina ini bertujuan untuk memperlihatkan kepada semua orang bahwa yang ada dalam tubuh setiap perempuan bentuknya bisa berbeda. Bentuk payudara berbeda. Bentuk vagina juga berbeda. Maka perempuan tidak perlu mengikuti standar kecantikan yang ada.
Standar kecantikan ini memang seringkali menjerat perempuan. Perempuan sampai harus berubah bentuk wajah, berubah bentuk badan agar sesuai dengan yang diinginkan orang lain, agar terlihat menarik di depan orang lain.
Padahal banyak perempuan tak nyaman dengan kondisi ini. Inilah yang kemudian disebut hegemoni, yaitu suatu bentuk penguasaan dari orang lain yang sering dilakukan dengan tanpa ancaman atau kekerasan.
“Perempuan yang cantik adalah perempuan yang memakai sepatu hak tinggi. Maka para perempuan, jangan lupa untuk selalu menggunakan sepatu hak tinggi biar dianggap menarik.”
Itulah hegemoni yang biasa kita alami. Padahal banyak sekali yang tak nyaman mengenakan sepatu hak tinggi. Namun karena ingin dianggap menarik, maka ia terpaksa memakai hak tinggi. Inilah bentuk penguasaan yang dilakukan secara diam-diam dan tanpa ancaman atau kekerasan.
Pameran seni ini merupakan bagian dari acara “16 Hari Ruang Puan (RUPA): Beda Itu Biasa” yang diadakan dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Acara ini terselenggara atas kerjasama dari Pamflet Generasi, Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia, dan Aliansi Satu Visi yang merupakan bagian dari Koalisi Indonesia untuk Seksualitas dan Keberagaman (KITASAMA).
16 RUPA menjadi ruang bagi perempuan untuk berekspresi dan menjadi dirinya sendiri dalam keahliannya masing-masing.
Rizka Amanditya, Ayunita Xiao Wei, dan Nadira Chairani merupakan tiga perempuan dibalik pembuatan instalasi ragam payudara dan vagina. Berbagai bentuk payudara dan vagina ditempel pada sebuah papan dan dijajarkan di atas meja. Instalasi ini merupakan gambaran keragaman bentuk payudara dan vagina yang dimiliki oleh perempuan
Nadira dan Ayunita mengatakan, pembuatan instalasi ini dibuat dengan bahan-bahan yang mudah didapat. Yang terpenting tujuan untuk memperlihatkan keragaman bentuk payudara dan vagina dapat dilihat oleh semua orang.
“Misalnya payudara yang kencang dan putingnya berwarna pink dianggap yang paling ideal, padahal semua orang punya bentuk yang berbeda. Makanya di sini kita buat berbagai bentuk payudara, ada yang puting berwarna coklat, hitam dan semuanya cantik,” ujar Ayunita.
Instalasi replika pakaian penyintas juga banyak dilihat pengunjung. Sebagian pakaian digantung pada langit-langit ruangan dan sebagian lagi dipakaikan pada manekin. Setiap pakaian memiliki cerita pilunya masing-masing.
Selembar kertas yang ditempelkan di dinding bisa bercerita tentang kisah dibalik seragam yang digantung. Ada cerita tentang seorang anak perempuan yang vaginanya dipegang oleh pedagang mainan di depan sekolah.
Kejadian lain juga terjadi di rumah, tapi dilakukan oleh sepupunya. Saat itu ia tidak mengerti apa yang terjadi. Ia baru menyadari bahwa kejadian itu merupakan kekerasan seksual ketika sudah dewasa.
Juga cerita tentang seorang karyawati yang diperkosa bosnya. Atau seorang mahasiswi yang mengenakan jilbab panjang yang pahanya diraba supir angkot. Dengan rupa yang berbeda mereka mengalami hal yang serupa. Perempuan selalu menjadi objek kekerasan dimanapun ia berada dan bagaimanapun pakaian yang ia kenakan.
Tidak hanya pakaian perempuan korban kekerasan saja yang dipamerkan. Ada juga pakaian seorang transpuan dan laki-laki yang mengalami kekerasan seksual. Ini menunjukan bahwa semua orang berpotensi menjadi korban kekerasan ketika hak atas otoritas tubuh tidak lagi dihargai.
Hollaback Jakarta dan Never Okay Project merupakan dua pihak yang mengumpulkan kisah-kisah para penyintas dan akhirnya diproyeksikan dalam intalasi replika pakaian penyintas kekerasan.
“Banyak anggapan kalau ada kasus kekerasan seksual itu salah perempuan, salah bajunya. Padahal nggak! Ada yang pakai gamis, pakai baju sekolah. Ini untuk menunjukkan kesadaran kepada masyarakat bahwa ini bukan masalah pakaian. Ini masalah pola pikir masyarakat yang salah,” ujar Nadira.
Sebagai orang yang terlibat dalam kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Ayunita dan Nadira punya harapan besar.
“Aku ingin menciptakan ruang ekspresi bagi perempuan. Perempuan bisa berkarya dan melakukan apapun yang mereka mau tanpa ada yang mengatur. Aku ingin semua perempuan jadi dirinya sediri dan jadi apa yang ia mau,”ujar Ayunita.
Tidak jauh berbeda dengan yang dikatakan Ayunita, Nadira juga ingin perempuan lebih berani mengespresikan dirinya sendiri.
“Khususnya untuk perempuan-perempuan di luar sana yang terpapar budaya bahwa perempuan harus diam, hanya boleh mengerjakan pekerjaan domestik saja. Aku dan semua orang di sini belajar. Proses belajar akan membuat pikiran lebih terbuka dan itu akan mengurangi kekerasan terhadap perempuan,” tambah Nadira.
*Aprelia Amanda, biasa dipanggil Manda. Menyelesaikan studi Ilmu Politik di IISIP Jakarta tahun 2019. Pernah aktif menjadi penulis di Majalah Anak (Malfora) dan kabarburuh.com. Suka membaca dan minum kopi, Manda kini menjadi penulis dan pengelola www.Konde.co
SEARCH
LATEST
3-latest-65px
SECCIONS
- Agenda HAM (1)
- Agenda Perempuan (6)
- catatan peristiwa (15)
- film (10)
- perempuan inspiratif (5)
- peristiwa (41)
- perspektif (58)
- Resensi Film (3)
Powered by Blogger.
Site Map
Kasus Aice: Dilema Buruh Perempuan Dan Pentingnya Kesetaraan Gender di Tempat Kerja
Para pekerja perempuan sedang bekerja di pabrik wig, Yogyakarta, 13 Desember 2019. RWicaksono/Shutterstock Aisha Amelia Yasmin , The Convers...
Popular Posts
-
Christophe Petit Tesson/EPA Sarah L. Cook , Georgia State University ; Lilia M. Cortina , University of Michigan , dan Mary P. Koss , Univer...
-
Co-working space telah menjadi sebuah cara yang innovative untuk bekerja diluar kantor pusat tanpa menjadi bekerja sendiri di rumah. (Shutte...
-
Apa yang salah dengan janda? Selama ini banyak pandangan miring tentang janda, seolah-olah yang dilakukan dan diputuskan oleh janda selalu s...
-
Sebuah gerakan global yang bernama “One Billion Rising” diadakan setiap tanggal 14 Februari, tepat di hari Valentine. Apakah One Billion Ris...
-
*Lala Firda- www.Konde.co Konde.co- Menjadi feminis di usia 17 adalah sesuatu yang langka yang saya jumpai di masa lalu. Tapi saya sudah mel...
-
Poedjiati Tan- www.Konde.co Jakarta, Konde.co- Setelah sebelumnya panitya seleksi pemilihan anggota Komnas Perempuan menyerahkan 20 calon an...
-
*Poedjiati Tan- www.Konde.co Jakarta, Konde.co- Jurnalis adalah pekerja yang banyak berada di tengah kerumunan. Mereka berada di kerumunan m...
-
Konde.co- Menjelang siang hari tanggal 17 Februari 2020, salah satu pengurus Serikat Buruh, Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indone...
-
Atalia (bukan nama sebenarnya), 28 tahun stress bukan kepalang. Wabah Corona atau Covid-19 ini membuatnya cemas. Ia cemas dengan keadaan pac...
-
Single and very happy? fizkes/ShutterStock Karel Karsten Himawan , Universitas Pelita Harapan Tren pertumbuhan orang lajang di negara Barat ...
Total Pageviews
Home Top Ad
space iklan
Cari Blog Ini
Blog Archive
-
▼
2019
(61)
-
▼
December
(27)
- A Feminist Manifesto: Mengenal Feminisme dalam 60 ...
- Pelajaran Jatuh Cinta: Tak Mengenal Ruang dan Waktu?
- Pengalaman Perempuan Petani Mengolah Makanan Tradi...
- Imperfect: Film yang Mengubah Narasi Kecantikan Pe...
- Aktivis Perempuan: Pemilihan Komisioner Komnas Per...
- Bagaimana Diskriminasi yang Dialami Transpuan dan ...
- Maria dan Makna Natal Perempuan Feminis
- Last Christmas, Natal yang Harus Menjadi Kenyataan
- Payudara dan Stigmatisasi Tubuh Perempuan: Perjuan...
- Manifesto Politik Perempuan Indonesia 22 Desember ...
- 22 Desember: Hari Ibu atau Hari Gerakan Perempuan ...
- Menginisiasi Pertanian Organik, Cara Perempuan Pet...
- Menolak Standar Kecantikan Perempuan dalam Karya Seni
- Pekerja Rumah Tangga Mengalami Kemiskinan Waktu di...
- Melihat Hukum di Indonesia yang Diciptakan Bukan u...
- Mendapat Predikat Kota Peduli HAM, Mengapa Pemkot ...
- Kalimat yang Menyesatkan: Bapak Bekerja di Kantor ...
- Didiskriminasi dan Dipersekusi, Adakah Tempat untu...
- Siapakah Perempuan Pembela HAM dan Apa Saja Ancama...
- Pelecehan Seksual di Konser Musik: Perempuan Bukan...
- FFI 2019: Film dengan Isu Perempuan dan Minoritas ...
- Hari HAM: Pemutaran Film More than Work
- Transportasi Umum yang Aman untuk Perempuan: Tang...
- Kisah Penyintas KDRT: Anakku, Cukup Ibumu Saja yan...
- Catatan Untuk Para Anti Feminis: Jangan Suka Emosi...
- Cerita 3 Perempuan Pencipta Perubahan Ekonomi
- Kami Marah: 25 Tahun Deklarasi Beijing Masih Jauh ...
-
▼
December
(27)
Video Of Day
Flickr Images
Find Us On Facebook
VIDEO
ads
TENTANG KAMI
Labels
Tags 1
Labels Cloud
RECENT POST
3/recent/post-list
Recent Posts
4/recent/post-list
Konde's Talk
Pages
TENTANG KAMI
Pages
Tentang kami
Subscribe Us
In frame
recent/hot-posts
No comments:
Post a Comment