Little Women: Perempuan Berhak Hidup atas Pilihannya Sendiri
Berlatar belakang perang sipil di Amerika di tahun 1860an, 4 anak perempuan Keluarga March hidup jatuh dalam kemiskinan. Salah satu cara agar mereka tak lagi miskin, adalah dengan cara menikah dengan laki-laki kaya. Tapi mereka tak mau melakukan itu. Mereka memilih untuk hidup atas pilihan mereka sendiri, termasuk untuk menikah atau tidak menikah, hal yang sulit dilakukan oleh perempuan di masa itu
*Meera Malik- www.Konde.co
Konde.co- Film “Little Women” bercerita tentang hidup 4 perempuan kakak beradik Keluarga March: Margaret March (Meg) diperankan oleh Emma Watson, Josephine March (Jo) oleh Saoirse Ronan, Amy Curtis March (Amy) oleh Florence Pugh, dan Elizabeth March (Beth) oleh Eliza Scanlen, pada masa perang sipil Amerika tahun 1860an.
Mereka tinggal di Concord, Massachusetts. Ayah mereka harus ikut berperang, keluarga yang dulu kaya, jatuh dalam kemiskinan. Namun kondisi ini tak membuat keluarga harus kehilangan kegembiraannya dan kasih sayang.
Sebagian besar cerita digambarkan lewat sudut pandang Jo, anak kedua dari keluarga March. Jo adalah anak yang menonjol di keluarganya, bahkan dianggap sebagai satu-satunya “anak lelaki” di keluarga.
Sebab, perilaku dan cara berpikir Jo “berbeda” dengan anak perempuan seusianya pada masa itu. Ia anak yang optimis dan selalu bisa diandalkan keluarga. Jo juga anak yang percaya bahwa pilihan hidupnya bisa saja berbeda dengan orang lain.
Adegan Jo bertemu Tn. Dashwood, seorang editor yang belakangan akan menerbitkan novel karangan Jo, menjadi pembuka film ini. Jo mengaku menjual tulisan “teman”nya kepada Dashwood untuk diterbitkan.
Dalam akhir negosiasi, editor Dashwood meminta Jo untuk mengirimkan tulisan lainnya dan berkata,” Jika tokoh utamanya perempuan, pastikan dia menikah di akhir cerita, atau kalau tidak, buat saja ia tewas. Jika ia tidak menikah, maka buku ini pasti tidak laku.”
Kalimat tersebut, menurut saya, menjadi pengantar yang cerdas untuk menunjukkan apa isu utama yang ingin diangkat di film ini.
Pada masa itu, pernikahan merupakan pencapaian tertinggi para perempuan. Bahkan secara sistematis, norma tersebut menyusup sebagai sebuah konsep yang “seharusnya” ada dalam cerita fiksi dengan mengatur seperti apa perempuan harus menjalani hidupnya.
Jo menentang pemikiran umum tersebut, karena baginya tak semua perempuan harus menikah, perempuan bebas memilih apa yang diinginkan dalam hidupnya.
Pemikiran Jo mengemuka ketika Laurie (Chalamet) yang dipanggilnya Teddy- tetangga dan teman baiknya- menyukai dan menyatakan cinta padanya.
Jo membalasnya dengan,” Teddy, aku tak yakin akan bisa menikah. Aku bahagia apa adanya. Aku terlalu suka kebebasanku untuk menyerahkannya begitu saja.”
Karena bagi Jo, pernikahan adalah sebuah institusi tempat terjadinya proposisi ekonomi, di mana ketika perempuan menikah, maka ia akan kehilangan sosoknya, suaranya, kebebasannya, dan hak milik pribadinya menjadi milik suami dan anaknya. Itu karena norma masyarakat membentuk konstruksi pernikahan seperti itu.
Jo punya cita-cita yang besar. Sejak kecil, ia berambisi menjadi seorang penulis. Ia sering menulis naskah pementasan teater kecil yang dimainkan oleh kakak beradiknya dalam acara-acara khusus seperti Natal di rumah mereka.
Ayahnya yang ikut berperang, sehingga selama ayahnya pergi, otomatis keluarganya bergantung satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dalam situasi ini ibu atau yang mereka panggil Marmee (Laura Dern) juga merupakan sosok penting di film ini. Ia mengambil alih semua urusan pengasuhan sejak suaminya atau ayah dari anak-anak pergi berperang.
Marmee adalah sosok kuat dan lembut di depan anak-anaknya. Selain sosok Jo, kekuataan Marmee dan penerimaan Marmee atas apa yang dipilihnya anak-anaknya juga menjadi narasi penting dalam film ini.
Jo berkeinginan besar untuk meningkatkan taraf kehidupan keluarganya. Pada masa itu, cara satu-satunya dan paling singkat untuk mewujudkannya, adalah dengan menikahi laki-laki kaya. Namun, Jo menolak cara itu. Ia ingin mewujudkan mimpinya dengan caranya sendiri.
Bagian menarik dari film ini muncul ketika Jo dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak semua orang memilki pemikiran dan ambisi yang sama dengannya. Sesaat sebelum kakak tertuanya, Meg, akan menikah, Jo sempat membujuknya agar membatalkan pernikahannya dan pergi bersamanya dan mengejar karir sebagai seorang aktris. Meg menolak usulan tersebut.
“Bukan berarti karena mimpiku berbeda denganmu, atau mimpiku tidak penting. Aku ingin menikah, aku ingin punya keluarga,” kata Meg pada Jo.
Bagi saya, bagian itu menunjukkan bahwa perempuan berhak untuk menentukan jalan hidupnya, secara bebas, bahkan jika ia ingin menikah, dengan menyadari penuh segala konsekuensi yang akan diterimanya. Di situlah momen di mana Jo sadar bahwa ia tidak berhak memaksakan pemikirannya pada perempuan lainnya.
Sosok lain adalah Amy, anak bungsu. Walaupun ditampilkan selalu mencoba mencari perhatian, namun Amy juga merupakan pejuang kehidupan. Tak mudah untuk menjadi pelukis yang diinginkannya di masa itu. Namun ia bisa ikut bibinya dan bisa bersekolah, meninggalkan rumahnya saat ia masih remaja.
Karakter 5 perempuan termasuk Marmee adalah karakter 4 perempuan yang menonjol di masyarakat kala itu, hidup yang selalu optimis di tengah keterbatasan.
Lalu, apakah di film ini Jo tetapi tidak menikah sesuai prinsipnya? Kamu tontonlah, karena ini merupakan pilihan Jo yang cukup penting yang bisa kamu lihat di film.
Oh iya, catatan mengenai film yang mengalir dengan alur maju-mundur ini, yaitu ketiadaan adegan yang menunjukkan proses kematangan berpikir Jo. Saya percaya, kematangan berpikir Jo mengenai ambisi, pernikahan, kemandirian perempuan, tidak serta-merta ada begitu saja. Ia datang melalui proses panjang. Berbeda dengan novelnya, film ini tiba-tiba saja memunculkan sosok Jo yang bebas dan tidak mau mengikuti norma umum masyarakat yang mengikat hidup perempuan.
Catatan kedua, penggunaan dramaturgi dengan alur maju-mundur ini menurut saya jadi menghilangkan kesan mendalam dalam setiap momentum yang dipotret, karena penonton harus bolak-balik mengingat satu momen yang berpindah ke momen yang lain. Jika film menggunakan dramaturgi awalan hingga akhiran secara runut, maka kesan, pahitnya cerita, menjadi lebih mudah untuk didalami.
“Little Women” merupakan adaptasi novel klasik karya Louisa May Alcott yang diyakini merupakan sosok Jo dalam film ini. Sebelumnya ada film dengan judul yang sama. Film “Little Women” yang sekarang diputar adalah karya Greta Gerwig yang diproduksi Sony Pictures Entertainment (2019)
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Meera Malik, jurnalis televisi yang murtad dan kini mualaf di Konde.co sebagai managing editor. Pengagum paradoks semesta, gemar membeli buku tapi lupa membaca.
SEARCH
LATEST
3-latest-65px
SECCIONS
- Agenda HAM (1)
- Agenda Perempuan (6)
- catatan peristiwa (15)
- film (10)
- perempuan inspiratif (5)
- peristiwa (41)
- perspektif (58)
- Resensi Film (3)
Powered by Blogger.
Site Map
Kasus Aice: Dilema Buruh Perempuan Dan Pentingnya Kesetaraan Gender di Tempat Kerja
Para pekerja perempuan sedang bekerja di pabrik wig, Yogyakarta, 13 Desember 2019. RWicaksono/Shutterstock Aisha Amelia Yasmin , The Convers...
Popular Posts
-
Christophe Petit Tesson/EPA Sarah L. Cook , Georgia State University ; Lilia M. Cortina , University of Michigan , dan Mary P. Koss , Univer...
-
Co-working space telah menjadi sebuah cara yang innovative untuk bekerja diluar kantor pusat tanpa menjadi bekerja sendiri di rumah. (Shutte...
-
Apa yang salah dengan janda? Selama ini banyak pandangan miring tentang janda, seolah-olah yang dilakukan dan diputuskan oleh janda selalu s...
-
Sebuah gerakan global yang bernama “One Billion Rising” diadakan setiap tanggal 14 Februari, tepat di hari Valentine. Apakah One Billion Ris...
-
*Lala Firda- www.Konde.co Konde.co- Menjadi feminis di usia 17 adalah sesuatu yang langka yang saya jumpai di masa lalu. Tapi saya sudah mel...
-
Poedjiati Tan- www.Konde.co Jakarta, Konde.co- Setelah sebelumnya panitya seleksi pemilihan anggota Komnas Perempuan menyerahkan 20 calon an...
-
*Poedjiati Tan- www.Konde.co Jakarta, Konde.co- Jurnalis adalah pekerja yang banyak berada di tengah kerumunan. Mereka berada di kerumunan m...
-
Konde.co- Menjelang siang hari tanggal 17 Februari 2020, salah satu pengurus Serikat Buruh, Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indone...
-
Atalia (bukan nama sebenarnya), 28 tahun stress bukan kepalang. Wabah Corona atau Covid-19 ini membuatnya cemas. Ia cemas dengan keadaan pac...
-
Single and very happy? fizkes/ShutterStock Karel Karsten Himawan , Universitas Pelita Harapan Tren pertumbuhan orang lajang di negara Barat ...
Total Pageviews
Home Top Ad
space iklan
Cari Blog Ini
Blog Archive
-
▼
2020
(89)
-
▼
February
(29)
- Apa yang Salah Jika Saya Menjadi Feminis di Usia 17?
- Mengapa Menjadi Cantik Dianggap Penting di Media S...
- Tahukah Kamu: Pekerja Seks adalah Pekerja yang Men...
- Mengapa Orang Memajang 'Foto dengan Pasangan' di S...
- Menyebabkan Kekerasan dan Ketidakadilan Gender, Or...
- Little Women: Perempuan Berhak Hidup atas Pilihann...
- Bagaimana Kesenian di Indonesia Memotret LGBT?
- Aktivis Mengecam Intimidasi dan Penggeledahan Paks...
- Pengalaman Perempuan: Betapa Repotnya saat Banjir
- Mengapa Para Aktivis Menolak RUU Ketahanan Keluarga?
- Kekerasan yang Dialami Pekerja Perempuan di Rumah,...
- Clickbait, Sebuah Tipuan atau Taktik dalam Bermedia?
- Aktivis KASBI Diteror, Buruh Tetap Menolak Omnibus...
- Lucinta Luna dan Sorotan atas Identitas Personalnya
- LBH APIK: Anggota DPR yang Menjebak Perempuan Haru...
- Valentine, Tak Melulu Urusan Asmara
- Apa One Billion Rising dan Mengapa Gerakannya Pent...
- Kasus BEM UNJ, Mengaburkan Foto Perempuan adalah T...
- Apa Menariknya Kisah Asmara si Doel?
- Membongkar Mitos Perempuan dalam Karya Seni Doloro...
- Laki-laki yang Menganut Paham Maskulinitas Seksis ...
- Dijerat oleh Politisi, Dukungan Mengalir Deras unt...
- Aktivis: Selesaikan Dugaan Kasus Kekerasan Seksua...
- Pelecehan Seksual Menimpa Perempuan Penjual Jamu (2)
- Pekerja Seks di Indonesia: Dari Rehabilitasi yang ...
- Pelecehan Seksual Menimpa Perempuan Penjual Jamu (1)
- Pekerja yang sedang Menyusui Tak Mendapat Istiraha...
- Lasminingrat, Penulis Sastra Feminis yang tak Bany...
- Melihat Apakah Perempuan akan Menjadi Subyek dalam...
-
▼
February
(29)
Video Of Day
Flickr Images
Find Us On Facebook
VIDEO
ads
TENTANG KAMI
Labels
Tags 1
Labels Cloud
RECENT POST
3/recent/post-list
Recent Posts
4/recent/post-list
Konde's Talk
Pages
TENTANG KAMI
Pages
Tentang kami
Subscribe Us
In frame
recent/hot-posts
No comments:
Post a Comment