Mengapa 8 Maret Diperingati Sebagai Hari Perempuan Internasional?
By
konde
perspektif
Jika para buruh perempuan tak melakukan mogok kala itu, barangkali kita tak akan bisa merayakan hari perempuan internasional. Hari perempuan internasional yang kita peringati setiap tanggal 8 Maret tak pernah lepas dari peluh perjuangan para buruh perempuan di pabrik-pabrik di sekitar tahun 1910. Para buruh perempuanlah yang kemudian mewarnai tradisi protes dan aktivisme politik kala itu dan memperjuangkan 8 Maret sebagai hari perempuan sedunia
Konde.co- Hari Perempuan Internasional lahir dalam pergolakan sosial yang besar, diwarnai dengan tradisi protes dan aktivisme politik yang dilakukan para buruh perempuan.
Bertahun-tahun sebelum tahun 1910, pada pergantian menuju abad 20, para buruh perempuan di negara-negara yang tengah mengalami industrialisasi, mulai memasuki masa kerja upahan.
Pekerjaan para buruh dipisahkan menurut jenis kelamin, dan umumnya para buruh perempuan ditempatkan di industri tekstil, manufaktur, dan layanan-layanan domestik dimana kondisinya sangat parah dan menyengsarakan mereka.
Saat itu adalah masa dimana serikat-serikat buruh tengah mengalami perkembangan. Di sisi lain sengketa-sengketa industrial mulai meletus, termasuk sengketa yang muncul di antara seksi-seksi pekerja perempuan yang tidak bergabung dalam serikat. Eropa saat itu tengah berada dalam kemungkinan terseret ke dalam api revolusi.
Banyaknya perubahan dalam kehidupan buruh perempuan inilah yang kemudian mendorong munculnya perlawanan terhadap batasan-batasan politik di sekitar mereka.
Di sisi yang lain, saat itu seluruh penjuru Eropa, Inggris, Amerika, dan kurang lebih juga di Australia, para perempuan dari seluruh lapisan sosial kemudian berjuang dan berkampanye untuk menuntut hak pilih dalam pemilihan umum.
Beberapa kelompok sosialis memandang bahwa tuntutan terhadap hak pilih terhadap perempuan kurang begitu penting dalam gerakan kelas pekerja, sementara beberapa feminis sosialis seperti Clara Zetkin dari Jerman dan Alexandra Kollontai, berhasil memperjuangkan hak pilih untuk diterima sebagai bagian penting dari program kelompok sosialis.
Kelompok sosialis lain menyatakan bahwa lebih penting menghapus kepemilikan pribadi terlebih dahulu daripada berkampanye menuntut hak pilih yang mana kalau hal itu berhasil seperti di Inggris akan berakibat hak pilih juga untuk kaum perempuan dari kalangan berpunya.
Di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1903, serikat buruh perempuan dan para perempuan pekerja profesional mulai berkampanye untuk hak pilih bagi perempuan kemudian mendirikan Liga Serikat Buruh Perempuan untuk membantu mengorganisir buruh pempuan yang berada di kerja upahan untuk memperjuangkan kepentingan politik dan kesejahteraan ekonomi mereka.
Tahun-tahun tersebut merupakan masa-masa pahit bagi banyak buruh perempuan yang berada dalam kondisi kerja yang parah dan tinggal di pemukiman kumuh serta rentan terhadap kekerasan.
Tahun 1908, pada minggu terakhir di bulan Februari, kelompok perempuan sosialis di AS menyelenggarakan Hari Perempuan Nasional yang pertama dengan melancarkan demonstrasi besar untuk menuntut hak pilih bagi perempuan serta hak-hak ekonomi dan politiknya sekaligus. Tahun berikutnya sebanyak 2.000 orang turut menghadiri peringatan Hari Perempuan Nasional di Manhattan.
Di tahun 1909, pekerja garmen perempuan melancarkan pemogokan massal. Dimana sebanyak 20.000 hingga 30.000 buruh perempuan mogok selama 13 minggu di suatu musim dingin demi menuntut upah yang lebih besar dan kondisi kerja yang lebih baik. Liga Serikat Buruh perempuan menyediakan dana bantuan bagi para demonstran baik untuk mendanai pemogokan massa itu sendiri maupun untuk membebaskan para demonstran yang ditangkap polisi.
Di tahun 1910 berikutnya Hari Perempuan mulai diselenggarakan oleh semua buruh perempuan sosialis dan feminis di seluruh negara. Beberapa bulan kemudian berbagai delegasi kemudian menghadiri penyelenggaraan Kongres Perempuan Sosialis di Kopenhagen dengan niatan untuk mengajukan Hari Perempuan sebagai suatu hari peringatan internasional.
Kongres ini sebenarnya terinspirasi oleh tindakan dari para pekerja perempuan AS dan juga dari feminis sosialis mereka yaitu Clara Zetkin, yang juga telah menawarkan proposal kerangka kerja untuk mengadakan konferensi perempuan sosialis dimana perempuan sedunia harus memfokuskan diri untuk memperjuangkan satu hari khusus untuk peringatan hari perempuan internasional demi menuntut hak-hak mereka.
Sehingga berhasil dilaksanakanlah Konferensi yang dihadiri lebih dari 100 perempuan dari 17 negara yang mewakili serikat-serikat buruh, partai-partai sosialis, kelompok-kelompok perempuan pekerja, dan termasuk tiga perempuan pertama yang terpilih dalam Parlemen Finlandia, yang mana semuanya menyambut saran dari Clara Zetkin dengan persetujuan bulat sehingga sebagai hasilnya dicapailah kesepakatan untuk Hari Perempuan Internasional diperingati setiap tanggal 8 Maret.
Konferensi tersebut juga menyorot ulang mengenai pentingnya hak pilih bagi kaum perempuan, hak pilih yang tidak didasarkan oleh hak milik serta menyerukan suatu emansipasi universal—hak pilih baik bagi kaum perempuan dan laki-laki dewasa.
Konferensi tersebut juga membahas mengenai manfaat-manfaat maternitas, yang mana meskipun ada intervensi dari Alexandra Kollontai atas nama ibu-ibu yang tidak menikah, hanya dimiliki oleh perempuan-perempuan yang menikah.
Selain hal itu juga diambil keputusan bersama untuk menentang kerja malam karena mempengaruhi kesehatan sebagian besar kaum pekerja perempuan meskipun dalam hal ini kaum pekerja perempuan menyatakan bahwa kerja malam diperlukan untuk menopang nafkah dan hidup mereka.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
(Disarikan dari tulisan karya Joyce Stevens dan https://bumirakyat.wordpress.com/2012/03/08/sejarah-hari-perempuan-internasional)
SEARCH
LATEST
3-latest-65px
SECCIONS
- Agenda HAM (1)
- Agenda Perempuan (6)
- catatan peristiwa (15)
- film (10)
- perempuan inspiratif (5)
- peristiwa (41)
- perspektif (58)
- Resensi Film (3)
Powered by Blogger.
Site Map
Kasus Aice: Dilema Buruh Perempuan Dan Pentingnya Kesetaraan Gender di Tempat Kerja
Para pekerja perempuan sedang bekerja di pabrik wig, Yogyakarta, 13 Desember 2019. RWicaksono/Shutterstock Aisha Amelia Yasmin , The Convers...
Popular Posts
-
Christophe Petit Tesson/EPA Sarah L. Cook , Georgia State University ; Lilia M. Cortina , University of Michigan , dan Mary P. Koss , Univer...
-
Co-working space telah menjadi sebuah cara yang innovative untuk bekerja diluar kantor pusat tanpa menjadi bekerja sendiri di rumah. (Shutte...
-
Apa yang salah dengan janda? Selama ini banyak pandangan miring tentang janda, seolah-olah yang dilakukan dan diputuskan oleh janda selalu s...
-
Sebuah gerakan global yang bernama “One Billion Rising” diadakan setiap tanggal 14 Februari, tepat di hari Valentine. Apakah One Billion Ris...
-
*Lala Firda- www.Konde.co Konde.co- Menjadi feminis di usia 17 adalah sesuatu yang langka yang saya jumpai di masa lalu. Tapi saya sudah mel...
-
Poedjiati Tan- www.Konde.co Jakarta, Konde.co- Setelah sebelumnya panitya seleksi pemilihan anggota Komnas Perempuan menyerahkan 20 calon an...
-
*Poedjiati Tan- www.Konde.co Jakarta, Konde.co- Jurnalis adalah pekerja yang banyak berada di tengah kerumunan. Mereka berada di kerumunan m...
-
Konde.co- Menjelang siang hari tanggal 17 Februari 2020, salah satu pengurus Serikat Buruh, Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indone...
-
Atalia (bukan nama sebenarnya), 28 tahun stress bukan kepalang. Wabah Corona atau Covid-19 ini membuatnya cemas. Ia cemas dengan keadaan pac...
-
Single and very happy? fizkes/ShutterStock Karel Karsten Himawan , Universitas Pelita Harapan Tren pertumbuhan orang lajang di negara Barat ...
Total Pageviews
Home Top Ad
space iklan
Cari Blog Ini
Blog Archive
-
▼
2020
(89)
-
▼
March
(33)
- Kasus Aice: Dilema Buruh Perempuan Dan Pentingnya ...
- Bagaimana Kebijakan Berperspektif Feminis Untuk Ta...
- Kondisi Narapidana Akibat Corona, Butuh Perhatian ...
- Siapakah yang Disebut Sebagai Negara dan Masyaraka...
- Aktivis: Pemerintah Lamban dalam Menyelesaikan Kas...
- Di Kota Groningen, Tak Banyak yang Bisa Kami Lakuk...
- Perempuan Bercerita: Menghadapi Pandemi COVID-19
- Jurnalis, Pekerja Media yang Rentan Virus Corona
- Lajang Bukan Berarti Tidak Mau Menikah, Menikah Ju...
- Hamil Saat Wabah Corona, Apa yang Harus Dilakukan?
- Tak Bisa Kerja dari Rumah Karena Corona: PRT, Peke...
- Surat Terbuka Pada Presiden Jokowi dari Komunitas ...
- Stigma pada Homoseksual di Sekitar Kita
- Bekerja dari Rumah atau Bekerja dengan Batasan Jam...
- Virus Corona: 10 Alasan Mengapa Kamu Tidak Perlu P...
- Perempuan Harus Move On dan Berani Hidup Sendiri
- Minat Baca Orang Indonesia Paling Rendah di Dunia,...
- Pernyataan Terbuka Gerak Perempuan Soal Pelaku Pel...
- Kesetaraan Gender di Media, Apakah Sudah Tercapai?
- Privasi Adalah Ruang Otonom dan Intim: Menolak RUU...
- Pelecehan Seksual dalam Aksi IWD 2020: Tidak Hanya...
- Riset: Perempuan Korban KDRT Enggan Bercerai Karen...
- Guyonan Misoginis Komentator Sepakbola, Apa yang S...
- Co-working Space Bagi Pekerja: Di Balik Revolusi D...
- 8 Kota Aksi Tolak Kekerasan Perempuan di Hari Pere...
- Mengapa 8 Maret Diperingati Sebagai Hari Perempuan...
- Aktivis Perempuan: Pemerintahan Jokowi Abai dan Me...
- Unggahan Tara Basro Dilabeli Pornografi: SAFEnet K...
- Bagaimana Film Parasite Menjungkirbalikan Dominasi...
- Berebut Masker dan Pencuci Tangan; Media dan Kepan...
- Tak Harus Menjadi Putih untuk Bisa Menikmati Hidup
- Peliputan Virus Corona Covid: Perusahaan Media Har...
- Berani Bicara di Hari Tanpa Diskriminasi
-
▼
March
(33)
Video Of Day
Flickr Images
Find Us On Facebook
VIDEO
ads
TENTANG KAMI
Labels
Tags 1
Labels Cloud
RECENT POST
3/recent/post-list
Recent Posts
4/recent/post-list
Konde's Talk
Pages
TENTANG KAMI
Pages
Tentang kami
Subscribe Us
In frame
recent/hot-posts
No comments:
Post a Comment