Privasi Adalah Ruang Otonom dan Intim: Menolak RUU Ketahanan Keluarga
By
konde
perspektif
Hanya karena tidak dapat memperlakukan suami dengan baik, maka kita harus berurusan dengan kepolisian. Negara akan terlalu jauh menyelami dinamika hidup warganya jika RUU Ketahanan Keluarga disahkan.
*Abdus Somad- www.Konde.co
Konde.co- Raut wajah aktivis, Pratiwi Febry awalnya datar. Namun perlahan berubah tegang saat menyampaikan isi dari Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga dihadapan peserta diskusi “ RUU Ketahanan Keluarga” yang diselenggarakan jaringan organisasi “Gerak Perempuan” dalam diskusi persiapan aksi Hari Perempuan Internasional, Maret 2020.
Mantan pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta ini geram lantaran negara hendak mengatur seluruh hidupnya.
Pratiwi tidak bisa membayangkan jika semua yang ada di dalam rumah, keluarga hingga aktivitasnya sehari-hari akan dipantau dengan RUU ini.
Sebagai perempuan yang sudah menikah, ia memikirkan dampak buruk yang akan dialami. Salah satunya, ia dan suaminya bisa terjerat hukum ketika tidak dapat merawat keluarga dengan baik.
Karena dalam Pasal 25 ayat (3) RUU Ketahanan Keluarga disebutkan, “Kewajiban istri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) antara lain: a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; b. menjaga keutuhan keluarga; serta c. memperlakukan suami dan Anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan Anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pratiwi jengkel dengan aturan tersebut. Ia merasa negara sudah terlalu jauh menyelami dinamika hidup seorang manusia. Hanya karena tidak dapat memperlakukan suami dengan baik, maka jika nanti RUU ini disyahkan, dirinya harus berurusan dengan kepolisian.
“Privasi itu adalah ruang otonom dan intim,” tegas Pratiwi sembari menyakinkan perserta diskusi bahwa ia dan seluruh manusia tidak bisa diatur dengan sewenang-wenang.
“Ini negara mencoba mengatur bagaimana saya harus bertahan, bagaimana saya berelasi, berperasaan, ini kan kacau,” lanjutnya.
Lanjut Pratiwi, kebodohan negara untuk mengurai persoalan kemiskinan, penceraian, kekerasan tidak sejalan dengan imajinasi RUU Ketahanan Keluarga. Baginya, RUU ini dapat menyebabkan kekerasan baru di lingkungan keluarga.
Pratiwi tidak ingin hal itu terjadi, ia tidak ingin rumah tangganya semakin runyam dengan aturan yang mengekang.
“Kalau RUU ketahanan keluarga masuk ranah privasi, mencoba mengatur martabat sebagai manusia, tepat atau tidak?,” Tanya Pratiwi kepada peserta diskusi.
“Tidak,” sahut peserta dengan lantang.
Pada kasus lainnya, Pratiwi menyinggung tindakan negara melalui RUU Ketahanan Keluarga yang menganggap kaum Lesbian, Gay, Biseksual, Tansgender (LBGT) sebagai kelompok kategori penyimpangan seksual.
Pratiwi berulang kali menggulung layar komputer jinjingnya mencari pasal yang mengurus kelompok LGBT. Setelah semenit berlalu ia menemukannya, ia lantas menyampaikan pada Pasal 86 yang menyebutkan bahwa:
“Keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota Keluarganya kepada Badan yang menangani Ketahanan Keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/ atau perawatan.”
Ia terheran-heran adanya nomenklatur yang mengharuskan pelaporan ketika terdapat penyimpangan seksual dalam keluarganya. Lebih parahnya lagi akan ada upaya rehabilitasi.
“Siapa kamu, (negara-red) berhak mengatur perilaku seksual kita,” kata Pratiwi.
Meski demikian Pratiwi menyimpan pertanyaan terdalam. Bagaimana kalau hal itu menimpa keluarganya? Keluarga rekannya? Atau sabahat dekatnya? Ia sendiri masih belum menemukan jawaban yang tepat.
Meski demikian, Pratiwi mengaku ketika dihadapkan dengan peristiwa tersebut, ia merasa tidak pantas dan tidak tega harus membawa keluarganya ke sebuah pusat rehabilitasi, karena dalam RUU tersebut disebutkan bahwa jika keluargamu ada yang LGBT, maka ia harus dibawa ke pusat rehabilitasi. Selain karena tidak menusiawi, tindakan rehabilitasi cendrung banyak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Pratiwi merasa tidak hanya dirinya yang berpikir demikian. Temannya di kelompok LGBT merasakan keresahan serupa.
“Dan kita sangat tahu jika rehabilitasi itu sangat tidak ramah dengan HAM,” ujarnya.
Sebagai pegiat HAM tentu saja tindakan demikian bertentangan dengan prinsip hidupnya. Semua yang lahir dan hidup di Indonesia bagi Pratiwi mempunyai hak dan kedudukan yang sama. Tidak semestinya negara membuat warganya tersakiti.
Usai diskusi, saya mencoba menghampiri Pratiwi. Ia masih menyimpan amarah. Berulang kali ia menyampaikan ada kecacatan berpikir negara atas pengaturan perilaku manusia. Baginya, negara tidak bisa ikut campur dalam urusan keluarga. Apapun peraturannya, keluarga adalah ruang otonom yang tidak boleh disentuh oleh siapapun termasuk negara.
“Bagaimana menurutmu kalau ini disahkan,” tanyaku.
“Saya menyakini akan ada kekacuan,” katanya.
“Apa saja itu?,” tanya saya
“Banyak yang akan dikriminalisasi, banyak juga yang terdiskriminasi,”
Dalam RUU ini memang mengatur pemidanaan bagi mereka yang melanggar. Dari hal itu, Pratiwi tidak bisa membayangkan kelak ketika disahkan akan ada banyak perempuan yang mungkin ditahan. Ruang tahanan akan penuh dengan orang-orang yang tidak dapat menjaga keluarganya. Pada titik itu, ia menyakini dirinya, keluarganya bisa saja berpotensi terjerat hukum ketika RUU berlaku.
“RUU ini harus kita lawan, kita tolak,” tutupnya.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Abdus Somad, sehari-hari aktif sebagai jurnalis di Jaring.id dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
SEARCH
LATEST
3-latest-65px
SECCIONS
- Agenda HAM (1)
- Agenda Perempuan (6)
- catatan peristiwa (15)
- film (10)
- perempuan inspiratif (5)
- peristiwa (41)
- perspektif (58)
- Resensi Film (3)
Powered by Blogger.
Site Map
Kasus Aice: Dilema Buruh Perempuan Dan Pentingnya Kesetaraan Gender di Tempat Kerja
Para pekerja perempuan sedang bekerja di pabrik wig, Yogyakarta, 13 Desember 2019. RWicaksono/Shutterstock Aisha Amelia Yasmin , The Convers...
Popular Posts
-
Christophe Petit Tesson/EPA Sarah L. Cook , Georgia State University ; Lilia M. Cortina , University of Michigan , dan Mary P. Koss , Univer...
-
Co-working space telah menjadi sebuah cara yang innovative untuk bekerja diluar kantor pusat tanpa menjadi bekerja sendiri di rumah. (Shutte...
-
Apa yang salah dengan janda? Selama ini banyak pandangan miring tentang janda, seolah-olah yang dilakukan dan diputuskan oleh janda selalu s...
-
Sebuah gerakan global yang bernama “One Billion Rising” diadakan setiap tanggal 14 Februari, tepat di hari Valentine. Apakah One Billion Ris...
-
*Lala Firda- www.Konde.co Konde.co- Menjadi feminis di usia 17 adalah sesuatu yang langka yang saya jumpai di masa lalu. Tapi saya sudah mel...
-
Poedjiati Tan- www.Konde.co Jakarta, Konde.co- Setelah sebelumnya panitya seleksi pemilihan anggota Komnas Perempuan menyerahkan 20 calon an...
-
*Poedjiati Tan- www.Konde.co Jakarta, Konde.co- Jurnalis adalah pekerja yang banyak berada di tengah kerumunan. Mereka berada di kerumunan m...
-
Konde.co- Menjelang siang hari tanggal 17 Februari 2020, salah satu pengurus Serikat Buruh, Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indone...
-
Atalia (bukan nama sebenarnya), 28 tahun stress bukan kepalang. Wabah Corona atau Covid-19 ini membuatnya cemas. Ia cemas dengan keadaan pac...
-
Single and very happy? fizkes/ShutterStock Karel Karsten Himawan , Universitas Pelita Harapan Tren pertumbuhan orang lajang di negara Barat ...
Total Pageviews
Home Top Ad
space iklan
Cari Blog Ini
Blog Archive
-
▼
2020
(89)
-
▼
March
(33)
- Kasus Aice: Dilema Buruh Perempuan Dan Pentingnya ...
- Bagaimana Kebijakan Berperspektif Feminis Untuk Ta...
- Kondisi Narapidana Akibat Corona, Butuh Perhatian ...
- Siapakah yang Disebut Sebagai Negara dan Masyaraka...
- Aktivis: Pemerintah Lamban dalam Menyelesaikan Kas...
- Di Kota Groningen, Tak Banyak yang Bisa Kami Lakuk...
- Perempuan Bercerita: Menghadapi Pandemi COVID-19
- Jurnalis, Pekerja Media yang Rentan Virus Corona
- Lajang Bukan Berarti Tidak Mau Menikah, Menikah Ju...
- Hamil Saat Wabah Corona, Apa yang Harus Dilakukan?
- Tak Bisa Kerja dari Rumah Karena Corona: PRT, Peke...
- Surat Terbuka Pada Presiden Jokowi dari Komunitas ...
- Stigma pada Homoseksual di Sekitar Kita
- Bekerja dari Rumah atau Bekerja dengan Batasan Jam...
- Virus Corona: 10 Alasan Mengapa Kamu Tidak Perlu P...
- Perempuan Harus Move On dan Berani Hidup Sendiri
- Minat Baca Orang Indonesia Paling Rendah di Dunia,...
- Pernyataan Terbuka Gerak Perempuan Soal Pelaku Pel...
- Kesetaraan Gender di Media, Apakah Sudah Tercapai?
- Privasi Adalah Ruang Otonom dan Intim: Menolak RUU...
- Pelecehan Seksual dalam Aksi IWD 2020: Tidak Hanya...
- Riset: Perempuan Korban KDRT Enggan Bercerai Karen...
- Guyonan Misoginis Komentator Sepakbola, Apa yang S...
- Co-working Space Bagi Pekerja: Di Balik Revolusi D...
- 8 Kota Aksi Tolak Kekerasan Perempuan di Hari Pere...
- Mengapa 8 Maret Diperingati Sebagai Hari Perempuan...
- Aktivis Perempuan: Pemerintahan Jokowi Abai dan Me...
- Unggahan Tara Basro Dilabeli Pornografi: SAFEnet K...
- Bagaimana Film Parasite Menjungkirbalikan Dominasi...
- Berebut Masker dan Pencuci Tangan; Media dan Kepan...
- Tak Harus Menjadi Putih untuk Bisa Menikmati Hidup
- Peliputan Virus Corona Covid: Perusahaan Media Har...
- Berani Bicara di Hari Tanpa Diskriminasi
-
▼
March
(33)
Video Of Day
Flickr Images
Find Us On Facebook
VIDEO
ads
TENTANG KAMI
Labels
Tags 1
Labels Cloud
RECENT POST
3/recent/post-list
Recent Posts
4/recent/post-list
Konde's Talk
Pages
TENTANG KAMI
Pages
Tentang kami
Subscribe Us
In frame
recent/hot-posts
No comments:
Post a Comment