Stigma pada Homoseksual di Sekitar Kita
By
konde
perspektif
"Sering juga diledekin, udah tua, tapi kog enggak nikah-nikah. Sempat enggak bisa menerima diri sih, iri sama teman-teman yang heteroseksual, seandainya aku kayak mereka. Tapi ya gimana, aku khan enggak bisa suka sama perempuan,” kata Duduy. Malu menunjukkan kekasihnya, adalah hal-hal yang banyak dialami kelompok homoseksual. Penyebabnya adalah lingkungan yang belum menerima keberadaan mereka.
*Tika Adriana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Rendy, 25 tahun, bukan nama sebenarnya. Ia minder bukan kepalang saat menyadari orientasi seksualnya tergolong minoritas.
Di saat teman-temannya memamerkan kekasihnya yang berbeda jenis kelamin, Rendy justru malu menunjukkan rasa cintanya, karena ia tahu yang ia cintai adalah lelaki sepertinya.
Di tengah lingkungan yang hanya mengakui pasangan heteroseksual, Rendy pun kerap mengutuk dirinya yang homoseksual. Ia selalu berdoa, mendekatkan diri dengan Tuhan, dan berharap Tuhan akan mengubah hidupnya agar ia bisa seperti temannya kebanyakan yang heteroseksual.
“Awalnya enggak terima, kenapa sih aku harus lahir sebagai seorang gay. Bahkan sampai sekarang aku masih menutupi orientasi seksualku. Kalau ada yang sudah coming out, aku cuma bisa ngebatin ‘kapan ya aku kayak gitu?,” ujar Rendy saat saya temui di sebuah kafe di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.
Duduy, bukan nama sebenarnya. Ia juga memiliki pengalaman serupa dengan Rendy. Di usianya yang menginjak 30 tahun, ia sering diolok-olok oleh kawan sepermainannya karena tak pernah menggandeng perempuan.
“Sering juga diledekin, udah tua, tapi enggak nikah-nikah. Sempat enggak bisa menerima diri sih, iri sama teman-teman yang heteroseksual dan berpikir, seandainya aku kayak mereka. Tapi ya gimana, aku enggak bisa suka sama perempuan,” kata Duduy.
Rendy dan Duduy merupakan dua remaja laki-laki yang menjadi korban dari konstruksi sosial yang hanya mengenal satu jenis orientasi seksual: heteroseksual. Padahal, mereka berdua sama seperti dengan remaja lainnya, punya rasa cinta yang bisa tumbuh kepada siapa saja.
Baik Rendy maupun Duduy baru bisa menerima diri sendiri setelah mereka mendapat pengetahuan tentang SOGIE SC (Sexual Orientation, Gender Identity and Expression, dan Sex Characteristics) yang ia dapatkan melalui media sosial.
Mereka sadar bahwa perasaan yang muncul di diri mereka tak salah dan pantas disyukuri, meski mereka belum berani coming out karena belum siap dengan segala stigma sosial yang melekat.
Rendy, Duduy, dan beberapa temannya punya sebuah grup di salah satu platform media sosial, mereka berbagi informasi perihal seksualitas yang sulit sekali mereka dapatkan di dunia nyata.
Atas alasan itu, pada tanggal 12 Desember 2012, mereka bertemu dan membuat sebuah komunitas untuk belajar tentang kesehatan seksual dan reproduksi remaja.
“Awalnya konsennya di teman-teman LSL (Laki-laki Suka Laki-laki), gay, transgender. Kita sekarang masuk ke isu remaja dan berbagi dengan remaja kampung seperti karang taruna. Jadi kita ingin mengedukasi semuanya,” ungkap Rendy.
Di komunitas itu ada banyak hal yang mereka bicarakan, seperti cara menyayangi diri sendiri, hak-hak kesehatan dan reproduksi remaja. Selain itu, mereka juga menjalin komunikasi dengan para penyedia layanan kesehatan agar tak mendiskriminasi remaja homoseksual dan transgender.
“Tidak mudah untuk mengubah cara berpikir mereka, karena penerimaan dirinya belum sempurna,” tutur Rendy.
Rendy mengatakan bahwa memberikan materi tentang keberagaman gender dan seksualitas bukan hal yang mudah serta membutuhkan kesabaran, baik itu kepada remaja maupun ke orang tua dan guru mereka.
“Kita selalu bilang bahwa kita memberikan materi SOGIE SC ini bukan berarti kita mengubah pandangan yang ada di bapak-ibu, tapi kita memberikan informasi biar bapak-ibu tahu bahwa keberagaman seksual itu ada,” ungkap Rendy.
Di forum-forum diskusi, Rendy dan Duduy serta kawan-kawannya juga memberikan pemahaman yang benar tentang transgender.
“Kadang kita bawa teman-teman transgender, kita ajak ikutan gabung. Sebetulnya ada teman-teman transgender yang punya jiwa sosial tinggi. Jadi kita beri pemahaman untuk tidak ngejudge mereka,” lanjutnya.
Stigma yang Diterima
Kepada saya, Duduy menceritakan pula tentang sulitnya mendekati teman-teman homoseksual. Untuk membangun kesadaran itu, Duduy dan teman petugas lapangan lainnya harus bersabar.
Duduy menyebut, hal itu terjadi karena teman-teman homoseksual dan transgender kerap mendapatkan stigma dari masyarakat, termasuk dari konselor kesehatan.
“Makanya kita juga adakan pertemuan dengan teman-teman layanan kesehatan agar tidak menstigma teman-teman homoseksual. Karena kadang ada juga konselor yang mencampur adukkan dengan agama. Padahal proses konseling tidak ada hubungannya dengan nilai-nilai. Petugas layanan itu ya hanya memberikan informasi layanan, advokasi layanan,” tegas Duduy.
Selain itu, Duduy dan rekan-rekannya pun tak lelah untuk menyosialisasikan pentingnya penggunaan kondom. Kata dia, banyak yang belum memahami tentang fungsi kondom yang tak hanya sebagai alat kontrasepsi, tapi juga sebagai alat pencegah penyakit menular seksual.
“Kta pasti jelasin bahwa kondom fungsinya bukan cuma alat kontrasepsi. Dan itu harus sering follow up,” tutur Duduy.
Intinya yang harus dilakukan adalah stop melakukan stigma. Jika kita sudah melakukan stop terhadap stigma pada homoseksual, maka akan ada keterbukaan, dan bisa saling menerima satu sama lain, akses kesehatan juga lebih terbuka.
*Tika Adriana, jurnalis perempuan yang sedang berjuang. Saat ini managing editor Konde.co
SEARCH
LATEST
3-latest-65px
SECCIONS
- Agenda HAM (1)
- Agenda Perempuan (6)
- catatan peristiwa (15)
- film (10)
- perempuan inspiratif (5)
- peristiwa (41)
- perspektif (58)
- Resensi Film (3)
Powered by Blogger.
Site Map
Kasus Aice: Dilema Buruh Perempuan Dan Pentingnya Kesetaraan Gender di Tempat Kerja
Para pekerja perempuan sedang bekerja di pabrik wig, Yogyakarta, 13 Desember 2019. RWicaksono/Shutterstock Aisha Amelia Yasmin , The Convers...
Popular Posts
-
Christophe Petit Tesson/EPA Sarah L. Cook , Georgia State University ; Lilia M. Cortina , University of Michigan , dan Mary P. Koss , Univer...
-
Co-working space telah menjadi sebuah cara yang innovative untuk bekerja diluar kantor pusat tanpa menjadi bekerja sendiri di rumah. (Shutte...
-
Apa yang salah dengan janda? Selama ini banyak pandangan miring tentang janda, seolah-olah yang dilakukan dan diputuskan oleh janda selalu s...
-
Sebuah gerakan global yang bernama “One Billion Rising” diadakan setiap tanggal 14 Februari, tepat di hari Valentine. Apakah One Billion Ris...
-
*Lala Firda- www.Konde.co Konde.co- Menjadi feminis di usia 17 adalah sesuatu yang langka yang saya jumpai di masa lalu. Tapi saya sudah mel...
-
Poedjiati Tan- www.Konde.co Jakarta, Konde.co- Setelah sebelumnya panitya seleksi pemilihan anggota Komnas Perempuan menyerahkan 20 calon an...
-
*Poedjiati Tan- www.Konde.co Jakarta, Konde.co- Jurnalis adalah pekerja yang banyak berada di tengah kerumunan. Mereka berada di kerumunan m...
-
Konde.co- Menjelang siang hari tanggal 17 Februari 2020, salah satu pengurus Serikat Buruh, Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indone...
-
Atalia (bukan nama sebenarnya), 28 tahun stress bukan kepalang. Wabah Corona atau Covid-19 ini membuatnya cemas. Ia cemas dengan keadaan pac...
-
Single and very happy? fizkes/ShutterStock Karel Karsten Himawan , Universitas Pelita Harapan Tren pertumbuhan orang lajang di negara Barat ...
Total Pageviews
Home Top Ad
space iklan
Cari Blog Ini
Blog Archive
-
▼
2020
(89)
-
▼
March
(33)
- Kasus Aice: Dilema Buruh Perempuan Dan Pentingnya ...
- Bagaimana Kebijakan Berperspektif Feminis Untuk Ta...
- Kondisi Narapidana Akibat Corona, Butuh Perhatian ...
- Siapakah yang Disebut Sebagai Negara dan Masyaraka...
- Aktivis: Pemerintah Lamban dalam Menyelesaikan Kas...
- Di Kota Groningen, Tak Banyak yang Bisa Kami Lakuk...
- Perempuan Bercerita: Menghadapi Pandemi COVID-19
- Jurnalis, Pekerja Media yang Rentan Virus Corona
- Lajang Bukan Berarti Tidak Mau Menikah, Menikah Ju...
- Hamil Saat Wabah Corona, Apa yang Harus Dilakukan?
- Tak Bisa Kerja dari Rumah Karena Corona: PRT, Peke...
- Surat Terbuka Pada Presiden Jokowi dari Komunitas ...
- Stigma pada Homoseksual di Sekitar Kita
- Bekerja dari Rumah atau Bekerja dengan Batasan Jam...
- Virus Corona: 10 Alasan Mengapa Kamu Tidak Perlu P...
- Perempuan Harus Move On dan Berani Hidup Sendiri
- Minat Baca Orang Indonesia Paling Rendah di Dunia,...
- Pernyataan Terbuka Gerak Perempuan Soal Pelaku Pel...
- Kesetaraan Gender di Media, Apakah Sudah Tercapai?
- Privasi Adalah Ruang Otonom dan Intim: Menolak RUU...
- Pelecehan Seksual dalam Aksi IWD 2020: Tidak Hanya...
- Riset: Perempuan Korban KDRT Enggan Bercerai Karen...
- Guyonan Misoginis Komentator Sepakbola, Apa yang S...
- Co-working Space Bagi Pekerja: Di Balik Revolusi D...
- 8 Kota Aksi Tolak Kekerasan Perempuan di Hari Pere...
- Mengapa 8 Maret Diperingati Sebagai Hari Perempuan...
- Aktivis Perempuan: Pemerintahan Jokowi Abai dan Me...
- Unggahan Tara Basro Dilabeli Pornografi: SAFEnet K...
- Bagaimana Film Parasite Menjungkirbalikan Dominasi...
- Berebut Masker dan Pencuci Tangan; Media dan Kepan...
- Tak Harus Menjadi Putih untuk Bisa Menikmati Hidup
- Peliputan Virus Corona Covid: Perusahaan Media Har...
- Berani Bicara di Hari Tanpa Diskriminasi
-
▼
March
(33)
Video Of Day
Flickr Images
Find Us On Facebook
VIDEO
ads
TENTANG KAMI
Labels
Tags 1
Labels Cloud
RECENT POST
3/recent/post-list
Recent Posts
4/recent/post-list
Konde's Talk
Pages
TENTANG KAMI
Pages
Tentang kami
Subscribe Us
In frame
recent/hot-posts
No comments:
Post a Comment