Tak Bisa Kerja dari Rumah Karena Corona: PRT, Pekerja Bangunan, Ojek Online
By
konde
perspektif
Surat dari Ibu Ida Fauziyah selaku Menteri Ketenagakerjaan, tak satupun menuliskan soal hak para pekerja informal seperti Pekerja Rumah Tangga, ojek online, pekerja bangunan, pekerja di warung-warung makan, pekerja rumahan dll. Surat edaran ini dibicarakan para aktivis buruh, karena menandakan bahwa pekerja informal tak mendapat respon dari kebijakan pemerintah terkait Virus Corona.
*Lita Anggraini dan Luviana- www.Konde.co
Konde.co- Sinta, seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT) bukan nama sebenarnya, merasa bingung dengan anjuran agar para pekerja bisa bekerja dari rumah atau work from home.
Sebagai PRT, bagaimana ia bisa bekerja dari rumah?. Penyebabnya, jika tak masuk kerja sehari saja, maka upah Sinta akan berkurang. Sebagai pekerja informal, para PRT rata-rata diupah perhari di setiap kerja.
Dalam suratnya yang beredar pada 17 Maret 2020, Ida Fauziyah menuliskan informasi soal pekerja formal yang akan mendapatkan gaji selagi tak bekerja karena wabah Corona.
Imbauan tersebut terdapat dalam surat edaran tentang perlindungan pekerja atau buruh dan kelangsungan usaha dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid-19 yang dikeluarkan pada tanggal 17 Maret 2020. Surat ini dikirim Ida Fauziyah untuk seluruh gubernur di Indonesia.
Bagi saya ini melegakan. Namun di surat edaran tersebut Menaker tidak menuliskan soal hak para pekerja informal. Padahal jumlah mereka sangat banyak di Indonesia.
Mereka adalah para Pekerja Rumah Tangga (PRT), ojek online, buruh bangunan, buruh harian lepas, pekerja di warung-warung kaki lima, dll yang nasibnya tak akan banyak dibicarakan, tergilas oleh hilir mudik isu Corona.
Padahal secara nyata, merekalah yang terkena dampak paling besar jika pemerintah meminta semua orang bekerja dari rumah atau work from home.
Bayangkan saja, jika tak masuk kerja sehari saja, mereka tak akan dibayar upahnya, karena semua digaji secara harian, begitu seterusnya. Begitu juga yang terjadi pada pekerja bangunan. Maka tak heran, jika di sepanjang jalan para pekerja bangunan ini tetap bekerja seperti biasanya, tanpa masker dan sarung tangan.
Untuk ojek online, jika tak bekerja, darimana mereka mendapatkan penghasilan? Untuk pekerja rumah tangga, tak semua majikan mau membayar PRT yang tak bisa masuk bekerja. Begitu juga yang terjadi pada buruh informal yang bekerja di warung-warung makanan. Padahal ini semua merupakan situasi khusus, situasi yang tak diinginkan oleh pekerja informal.
Para pekerja informal inilah yang langsung terkena pemotongan upah ketika sehari saja tak bekerja. Jika ada kebijakan lock down, mereka juga pekerja yang paling terkena imbasnya.
Jika tidak mendapatkan upah, bagaimana mereka bisa hidup sehat, bisa membeli masker dan hand sanitizer, bisa berobat ke dokter, jika hidup sehari-hari saja mereka tak bisa penuhi?
Salah satu pekerja rumah tangga dan pedagang kaki lima yang saya temui mengatakan, bahwa memikirkan Corona adalah sesuatu yang mewah bagi orang kecil seperti mereka. Mereka lebih mengutamakan tetap bekerja agar bisa membiayai makan keluarganya. Maka bagi mereka, lebih baik tetap bekerja daripada di rumah tak berpenghasilan. Mungkin ini yang dinamakan sebagai: orang miskin tak boleh sakit.
“Orang miskin tak boleh sakit mbak, langsung mati saja, jadi tidak usah bayar ongkos rumah sakit.”
Maka, kapan pemerintah mulai memperhatikan dampak sosial dan ekonomi pada rakyat kelas bawah akibat kebijakan penanganan wabah Corona ini?.
Surat edaran dari Kemenaker tersebut tidak menunjukkan perlindungan terhadap para pekerja informal di Indonesia.
Selain kebijakan work from home yang tak berpihak pada pekerja informal, jika pemerintah mengeluarkan kebijakan lock down, pekerja informal juga pihak yang sangat dirugikan. Mayoritas mereka adalah masyarakat lapisan bawah yang akan kehilangan akses ekonomi berupa pasar, bahan baku sampai distribusi yang menjadi sandaran kehidupan sehari-hari. Jumlah mereka yang ratusan juta lebih besar dan lebih cepat terdampak.
Kebijakan bagi rakyat seharusnya memperhitungkan dampak yang lebih besar dan berbahaya bagi masyarakat luas dan keutuhan bangsa. Apakah pemerintah sudah siap dengan berbagai dampak kemungkinan ini?.
Terbayang warga yang tidak memiliki akses ekonomi logistik dan kesehatan jauh lebih besar. Yang dibutuhkan saat ini adalah sosial safety net yang kuat dan kongkrit agar dampak sosial ekonomi pada masyarakat bisa terkendali.
Pemerintah perlu memastikan pembebasan biaya kesehatan, fasilitas kesehatan dan tenaga medis di setiap kota dan kabupaten dan jalur distribusi logistik bagi rakyat. Sediakan masker, hand sanitizer di pos-pos kesehatan, bisa melakukan pemeriksaaan kesehatan secara cepat dan juga logistik bagi pekerja dengan upah harian ini.
Bagi masyarakat, sesungguhnya tidak ada pilihan lain selain disiplin tinggal di rumah memastikan kesehatan diri dan keluarga, serta mengatur akses bahan makanan. Namun pikirkan juga, jika para pekerja informal ini harus di rumah, bagaimana mereka bisa membiayai makan sehari-hari?
Sebanyak 4,2 juta pekerja rumah tangga saat ini menjadi tulang punggung dalam keluarga majikan, mereka juga harus memikirkan kesehatannya, juga memastikan kesehatan keluarganya di kampung. Begitu juga dengan para pekerja bangunan yang dibayar harian, ojek online yang harus terus mencari uang, agar tak berhenti hidupnya.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Lita Anggraini, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT)
*Luviana, setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar ilmu komunikasi di sejumlah universitas di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
SEARCH
LATEST
3-latest-65px
SECCIONS
- Agenda HAM (1)
- Agenda Perempuan (6)
- catatan peristiwa (15)
- film (10)
- perempuan inspiratif (5)
- peristiwa (41)
- perspektif (58)
- Resensi Film (3)
Powered by Blogger.
Site Map
Kasus Aice: Dilema Buruh Perempuan Dan Pentingnya Kesetaraan Gender di Tempat Kerja
Para pekerja perempuan sedang bekerja di pabrik wig, Yogyakarta, 13 Desember 2019. RWicaksono/Shutterstock Aisha Amelia Yasmin , The Convers...
Popular Posts
-
Christophe Petit Tesson/EPA Sarah L. Cook , Georgia State University ; Lilia M. Cortina , University of Michigan , dan Mary P. Koss , Univer...
-
Co-working space telah menjadi sebuah cara yang innovative untuk bekerja diluar kantor pusat tanpa menjadi bekerja sendiri di rumah. (Shutte...
-
Apa yang salah dengan janda? Selama ini banyak pandangan miring tentang janda, seolah-olah yang dilakukan dan diputuskan oleh janda selalu s...
-
Sebuah gerakan global yang bernama “One Billion Rising” diadakan setiap tanggal 14 Februari, tepat di hari Valentine. Apakah One Billion Ris...
-
*Lala Firda- www.Konde.co Konde.co- Menjadi feminis di usia 17 adalah sesuatu yang langka yang saya jumpai di masa lalu. Tapi saya sudah mel...
-
Poedjiati Tan- www.Konde.co Jakarta, Konde.co- Setelah sebelumnya panitya seleksi pemilihan anggota Komnas Perempuan menyerahkan 20 calon an...
-
*Poedjiati Tan- www.Konde.co Jakarta, Konde.co- Jurnalis adalah pekerja yang banyak berada di tengah kerumunan. Mereka berada di kerumunan m...
-
Konde.co- Menjelang siang hari tanggal 17 Februari 2020, salah satu pengurus Serikat Buruh, Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indone...
-
Atalia (bukan nama sebenarnya), 28 tahun stress bukan kepalang. Wabah Corona atau Covid-19 ini membuatnya cemas. Ia cemas dengan keadaan pac...
-
Single and very happy? fizkes/ShutterStock Karel Karsten Himawan , Universitas Pelita Harapan Tren pertumbuhan orang lajang di negara Barat ...
Total Pageviews
Home Top Ad
space iklan
Cari Blog Ini
Blog Archive
-
▼
2020
(89)
-
▼
March
(33)
- Kasus Aice: Dilema Buruh Perempuan Dan Pentingnya ...
- Bagaimana Kebijakan Berperspektif Feminis Untuk Ta...
- Kondisi Narapidana Akibat Corona, Butuh Perhatian ...
- Siapakah yang Disebut Sebagai Negara dan Masyaraka...
- Aktivis: Pemerintah Lamban dalam Menyelesaikan Kas...
- Di Kota Groningen, Tak Banyak yang Bisa Kami Lakuk...
- Perempuan Bercerita: Menghadapi Pandemi COVID-19
- Jurnalis, Pekerja Media yang Rentan Virus Corona
- Lajang Bukan Berarti Tidak Mau Menikah, Menikah Ju...
- Hamil Saat Wabah Corona, Apa yang Harus Dilakukan?
- Tak Bisa Kerja dari Rumah Karena Corona: PRT, Peke...
- Surat Terbuka Pada Presiden Jokowi dari Komunitas ...
- Stigma pada Homoseksual di Sekitar Kita
- Bekerja dari Rumah atau Bekerja dengan Batasan Jam...
- Virus Corona: 10 Alasan Mengapa Kamu Tidak Perlu P...
- Perempuan Harus Move On dan Berani Hidup Sendiri
- Minat Baca Orang Indonesia Paling Rendah di Dunia,...
- Pernyataan Terbuka Gerak Perempuan Soal Pelaku Pel...
- Kesetaraan Gender di Media, Apakah Sudah Tercapai?
- Privasi Adalah Ruang Otonom dan Intim: Menolak RUU...
- Pelecehan Seksual dalam Aksi IWD 2020: Tidak Hanya...
- Riset: Perempuan Korban KDRT Enggan Bercerai Karen...
- Guyonan Misoginis Komentator Sepakbola, Apa yang S...
- Co-working Space Bagi Pekerja: Di Balik Revolusi D...
- 8 Kota Aksi Tolak Kekerasan Perempuan di Hari Pere...
- Mengapa 8 Maret Diperingati Sebagai Hari Perempuan...
- Aktivis Perempuan: Pemerintahan Jokowi Abai dan Me...
- Unggahan Tara Basro Dilabeli Pornografi: SAFEnet K...
- Bagaimana Film Parasite Menjungkirbalikan Dominasi...
- Berebut Masker dan Pencuci Tangan; Media dan Kepan...
- Tak Harus Menjadi Putih untuk Bisa Menikmati Hidup
- Peliputan Virus Corona Covid: Perusahaan Media Har...
- Berani Bicara di Hari Tanpa Diskriminasi
-
▼
March
(33)
Video Of Day
Flickr Images
Find Us On Facebook
VIDEO
ads
TENTANG KAMI
Labels
Tags 1
Labels Cloud
RECENT POST
3/recent/post-list
Recent Posts
4/recent/post-list
Konde's Talk
Pages
TENTANG KAMI
Pages
Tentang kami
Subscribe Us
In frame
recent/hot-posts
No comments:
Post a Comment